Milyaran manusia yang hidup di lima puluh negara yang digolongkan
paling miskin di dunia, masih jauh dari harapan perubahan nasib.
Urbanisasi
besar-besaran dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara itu ternyata
cuma memberikan kesempatan perbaikan hidup secara terbatas pada sedikit
saja warganya. Akibatnya, mereka justru makin menjadi manusia yang lebih
rentan di hadapan persaingan yang makin ketat di dunia yang makin
kurang toleran ini. Kondisi ekonomi dan pembangunan yang sangat lambat
membuat rakyat di 50 negara itu dihadapkan pada bahaya krisis
kemanusiaan, bahkan konflik antar warga.
Begitulah salah satu
kesimpulan sebuah studi yang dilakukan UNCTAD, Badan PBB untuk urusan
Pembangunan dan Perdagangan. Laporan penelitian itu Kamis petang secara
bersamaan diluncurkan di sejumlah kantor perwakilan PBB di seluruh
dunia, termasuk di Berlin, Jerman. Sekitar tiga perempat dari negara
termiskin, atau dalam bahasa lain,
negara paling kurang maju, berada di Afrika. Sisanya berada di Asia dan Pasifik.
Sebagian
besar dari 50 negara termiskin itu mengandalkan ekonomi pada sektor
tradisional, yakni pertanian. Angkatan kerja yang berkerja di sektor ini
mencapai angka 70 persen. Sebagian negara, seperti Bangladesh, Gambia
dan Senengal mulai mengembangkan industri melalui produksi barang
kelontong dan tekstil. Sejumlah negara, seperti Angola, Ginea Ekuator,
Sudan dan Yaman mengandalkan ekonomi
pada ekspor minyak bumi.
Sementara sebagian besar dari 50 negara termiskin di dunia itu justru
merupakan pengimpor minyak bumi. Yang menarik, sebetulnya sebagian
negara-negara termiskin itu mengalami angka pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi. Di tahun 2004 lalu, angka pertumbuhan rata-rata mencapai
5.9 persen. Masalahnya,
sebagian besar pertumbuhan itu berkaitan
dengan berlipat-gandanya kucuran bantuan dari negara-negara kaya
sepanjang periode 1999 hingga 2004. Sayangnya, menurut Kepala UNCTAD,
Supachai Panitchpakdi pertumbuhan ekonomi tinggi itu tidak langsung
mengejawantah ke dalam penyediaan lapangan kerja dan pengentasan
kemiskinan. Ahli ekonomi Perserikatan bangsa-Bangsa PBB, Michael Hermann
menyatakan,pengangguran menjadi masalah sosial terbesar di 50 negeri
termiskin itu.
"Lemahnya restrukturisasi di sektor industri dan
pelayanan jasa membuat sebagian besar orang gagal menemukan pekerjaan
yang sesuai. Mereka rata-rata bekerja di bidang informal, dengan tingkat
produktivitas yang rendah dan upah yang murah. Mereka tenaga kasar yang
tidak akan mampu bekerja di perusahaan resmi. Mereka hanya bisa
membersihkan jalanan ketimbang bekerja di pabrik tekstil misalnya."
Tingkat
pendidikan yang sangat rendah, serta keterampilan yang terbatas,
membuat penduduk sulit bersaing di pasar kerja, karena produktivitasnya
sangat rendah. Dalam hitung-hitungan UNCTAD, lima pekerja di 50 negeri
termiskin itu tingkat produktivitasnya sama dengan seorang pekerja di
negara berkembang. Dan kalau dibandingkan dengan negara maju, lebih
parah lagi. Tingkat produktivitasnya 1
berbanding 94. Artinya, apa
yang dihasilkan oleh seorang pekerja di negara maju, menyamai apa yang
dihasilkan 94 orang pekerja di negeri termiskin.
Masalahnya,
upaya menggerakan roda ekonomi di negara-negara miskin berhadapan pula
dengan berbagai perkara lain yang bagai benang kusut. Seperti kerusuhan
sosial, korupsi, dan kekuasaan para diktator. Sementara menurut Michael
Hermann, bantuan dari negara maju, juga tak terlalu tertuju pada upaya
peningkatan kemampuan ekonomi rakyat.
"Seruan untuk menggerakkan
roda perekonomian bukan ide yang revolusioner. Tapi dalam konteks
politik, seruan itu hampir seperti perubahan paradigma. Karena politik
bantuan pembangunan negara barat cenderung diarahkan untuk bidang
sosial. Misalnya saja bantuan lebih difokuskan untuk bidang kesehatan
dan pendidikan."
Huru-hara, kemiskinan, penindasan, korupsi,
tingginya utang luar negeri, langkanya lapangan kerja dan sangat
rendahnya upah, membuat banyak warga 50 negara termiskin itu tergerak
mengadu nasib ke negara-negara industri maju. Masalahnya, sebagian besar
dari arus imigrasi itu berlangsung secara ilegal, dan akhirnya
menimbulkan masalah sosial baru. Kembali Michael Hermann:
"Jika
negara-negara ini gagal menggerakkan roda perekonomiannya, maka kita
akan berhadapan dengan krisis utang yang baru. Lalu krisis lapangan
kerja. Sehingga mereka yang tidak punya pekerjaan di negaranya akan
bermigrasi ke wilayah seperti Eropa. Itulah yang akan terjadi, kalau
kita tidak mendorong perekonomian negara-negara
miskin ini."
MENURUT SAYA :
-
Hendaknya pemerintah dan aparatur negara ini dapat mengimbangi laju
pertumbuhan penduduk dengan pemerataan pertumbuhan ekonomi terutama
sektor ril (UKM)
- Peningkatan kualitas pendidikan serta pemerataan pendidikan di Negeri ini merupakan faktor utama dalam pembangunan ekonomi
- Pemerintah juga diharapkan dapat menciptakan iklim pertumbuhan investasi yang kondusif serta aman di Negeri ini
- Penegakan hukum juga berperan penting dalam penciptaan stabilitas pembangunan ekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar